Sentimen serta diskriminasi yang diterima etnis Tionghoa, dibuat serta diterapkan secara sistematis oleh pemerintah Orde Baru. Peristiwa September 1965 merupakan dampak dari tidak berasimilasinya masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Dalam penelitian ini, peneliti memiliki konsentrasi obyek penelitian kepada masyarakat Tionghoa di kawasan Tangerang yang populer dikenal dengan istilah “Cina Benteng”. Ada dua rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: (1) Apa saja yang menjadi bentuk kompromi kebudayaan antara etnis Tionghoa Tangerang dengan masyarakat lokal sehingga mampu menciptakan asimilasi?, (2) Bentuk-bentuk kebudayaan apa saja yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh kedua unsur masyarakat tersebut? Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik sumber, interpretasi serta historiografi. Sumber primer dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen yang berasal dari pengelola Museum pustak peranakan Tionghoa di kawasan Serpong, Tangerang Selatan. Sumber lainnya diperoleh melalui wawancara kepada tokoh etnisTionghoa sebagai komplemen karya tulis penelitian ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial-budaya. Adapun hasil dalam penelitian ini menunjukan tiga temuan, yaitu (1) Ada beberapa bentuk kompromi yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan etnis Tionghoa untuk saling menerima satu sama lain seperti pendidikan, sosial budaya dan aturan pemerintah. (2) Dalam proses asimilasi kebudayaan, masyarakat lokal dan Cina Benteng bersama-sama menyatukan kebudayaan mulai dari permainan, kuliner, hingga budaya perkawinan. (3) Etnis Tionghoa yang berada di kawasan Cina Benteng berstatus sebagaiwarga negara Indonesia. Pasca 1998, etnis Tionghoa memiliki status yang lebih jelas terutama dalam masalah diskriminasi

SS23022

SKR SS23022

Perpustakaan FAH (Skripsi SS)

Tersedia

• Fulltext

Share :