Masjid Pathok Negoro Plosokuning 1724-2014 (Kajian Sejarah Arsitektur Jawa)
JJohan Eko Prasetyo - Personal Name
Kerajaan Mataram, yang telah mengalami berbagai macam peristiwa disintegrasi dan
perebutan kekuasaan, pada tahun 1755 terbagi menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.
Maka dengan sendirinya daerah-daerah bekas Mataram beserta desa-desa yang ada di dalamnya,
juga ikut terbagi. Perebutan kekuasaan antar kerajaan juga terjadi di bidang religius dan sosial
yang mana saling berlomba untuk mendapatkan pengaruh. Hal ini pun terjadi saat Perang Jawa
berlangsung ketika Pangeran Diponegoro dan pengikutnya menjadikan daerah-daerah tersebut
yang sebagai basis perlawanan dan mobilisasi rakyat, salah satunya adalah Masjid Pathok
Negoro Plosokuning. Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima Masjid Pathok
Negoro, yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan di timur, Wonokromo di
tenggara dan Dongkelan di selatan Kraton Yogyakarta, yang dikenal sebagai konsep papat
kalimo pancer.
Masjid Pathok Negoro Plosokuning didirikan pada tahun 1724, adalah salah satu masjid
yang menjadi benteng dan pusat kajian religius bagi rakyat Yogyakarta. Aspek arsitektur
maupun hubungan koordinatif, selalu berhubungan dengan pihak Kraton Yogyakarta. Keunikankeunikan
yang terdapat di masjid ini tidak dipunyai oleh Masjid-masjid Pathok Negoro lainnya,
terutama dari sisi keaslian arsitektur nya meskipun masih dalam satu jaringan Masjid Pathok
Negoro Yogyakarta. Pada pendirian konstruksi bangunan masjid, memakai kaidah dan prinsip
arsitektur khas Jawa, merujuk pada Masjid Agung Demak yang beratap susun tiga. Masyarakat
di sekitar masjid juga selalu dikenal dengan nama kaum (santri), dengan penetapan oleh pihak
kraton sebagai sebuah daerah mutihan yang bersifat perdikan pada status tanahnya.
perebutan kekuasaan, pada tahun 1755 terbagi menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.
Maka dengan sendirinya daerah-daerah bekas Mataram beserta desa-desa yang ada di dalamnya,
juga ikut terbagi. Perebutan kekuasaan antar kerajaan juga terjadi di bidang religius dan sosial
yang mana saling berlomba untuk mendapatkan pengaruh. Hal ini pun terjadi saat Perang Jawa
berlangsung ketika Pangeran Diponegoro dan pengikutnya menjadikan daerah-daerah tersebut
yang sebagai basis perlawanan dan mobilisasi rakyat, salah satunya adalah Masjid Pathok
Negoro Plosokuning. Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima Masjid Pathok
Negoro, yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan di timur, Wonokromo di
tenggara dan Dongkelan di selatan Kraton Yogyakarta, yang dikenal sebagai konsep papat
kalimo pancer.
Masjid Pathok Negoro Plosokuning didirikan pada tahun 1724, adalah salah satu masjid
yang menjadi benteng dan pusat kajian religius bagi rakyat Yogyakarta. Aspek arsitektur
maupun hubungan koordinatif, selalu berhubungan dengan pihak Kraton Yogyakarta. Keunikankeunikan
yang terdapat di masjid ini tidak dipunyai oleh Masjid-masjid Pathok Negoro lainnya,
terutama dari sisi keaslian arsitektur nya meskipun masih dalam satu jaringan Masjid Pathok
Negoro Yogyakarta. Pada pendirian konstruksi bangunan masjid, memakai kaidah dan prinsip
arsitektur khas Jawa, merujuk pada Masjid Agung Demak yang beratap susun tiga. Masyarakat
di sekitar masjid juga selalu dikenal dengan nama kaum (santri), dengan penetapan oleh pihak
kraton sebagai sebuah daerah mutihan yang bersifat perdikan pada status tanahnya.
Ketersediaan
SS1636 | SKR SPI 2016 36 | Perpustakaan FAH (Skripsi SPI) | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - No Loan |
Informasi Detil
Judul Seri
-
No. Panggil
SKR SPI
Penerbit
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta., 2016
Deskripsi Fisik
vi, 80 hlm.: ilus
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
SKR SPI
Informasi Detil
Tipe Isi
text
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab
Budi Sukistiono
Tidak tersedia versi lain